
“Perkawinan anak harus menjadi perhatian semua pihak, mengingat dampak sistemik dan berkelanjutan dari perkawinan anak (Rita Pranawati, wakil ketua KPAI/ 2020)”
Perkawinan anak merupakan permasalahan serius yang berkaitan dengan terpenuhnya Hak-hak anak. Melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mencantumkan perubahan usia minimal perkawinan dari 16 tahun bagi perempuan menjadi 19 tahun. Artinya tidak ada lagi perbedaan antara laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan izin menikah secara resmi oleh Negara.
Namun kenyataannya, kenaikan batas usia minimal perkawinan anak beriringan dengan meningkatnya usia perkawinan anak di Indonesia. Beberapa kasus yang terjadi disebabkan karena hubungan yang tidak diinginkan diluar pernikahan yang menyebabkan anak didorong dan dipaksa untuk menikah.
Perkawinan usia anak tentu akan memberikan dampak sistemik bagi mereka. Misalnya terhadap Pendidikan, kebanyakan dari anak-anak yang melakukan perkawinan, akan menghentikan proses Pendidikan mereka, terutama perempuan. Hal ini akan berdampak pada terputusnya cita-cita yang sudah pernah mereka bayangkan sebelumnya. Selain itu, secara psikologis di usia anak akan sangat rentan untuk mengalami gejolak emosional yang tidak stabil. Ditambah jika mereka memiliki anak dan harus mengatur kehidupan keluarga mereka sendiri. Belum lagi dampak Kesehatan, kemiskinan yang berkelanjutan, stunting, sosial, dan lainnya yang akan saling beririsan.

Sejak tahun 2018, Bengkulu telah memiliki aturan sendiri sebagai upaya serius dari pemerintah, organisasi masyarakat maupun masayarakat sendiri untuk mencegah perkawinan anak. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 33 tahun 2018 tentang Pencegahan Perkawinan anak. Satu tahun setelahnya, dilanjutkan dengan disahkan peraturan walikota Bengkulu Nomor 64 Tahun 2019 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak. Namun, tahun 2020, tercatat Bengkulu masuk 10 besar kasus tertinggi perkawinan anak di Indonesia. Kasus yang tercatat jelas tidak sama dengan kenyataan kasus yang terjadi, banyak data yang tidak tercatat secara resmi karena tertutupnya keluarga untuk melaporkan perkawinan di usia anak.
Perkawinan usia anak sangat rentan terjadi di daerah-daerah yang berada di daerah dengan tingkat literasi yang belum cukup baik. Perkembangan dan kemajuan informasi menjadi pendorong begitu mudahnya anak-anak memperoleh informasi dari berbagai sumber. Tahun 2016, media di Indonesia begitu kuatnya memberitakan mengenai perkawinan yang dilakukan oleh salah seorang public figure yang melakukan perkawinan usia anak. Perdebatan muncul, mulai dari yang pro dan yang kontra. Tentu saja, pembicaraan ini akan sampai pada seluruh pengguna media sosial terlebih bagi anak yang masing-masing telah diberikan fasilitas smartphone. Namun mereka tidak memperdebatkan pro kontra dari segi ekonomi, sosial, Kesehatan dan psikologis sebagai dampak perkawinan anak. Perbincangan mereka terhadap isu itu adalah romantisme sepasang anak yang mereka anggap sangat serasi dapat muncul ke media dengan angan-angan kebahagiaan yang dapat diperoleh bagi siapapun. Dari segi agama misalnya, mereka berdalih melihat contoh positif hubungan perempuan dan laki-laki dengan berani melakukan perkawinan anak sehingga dapat menghindari diri mereka dari perzinahan, dengan meninggalkan kemungkinan buruk dibalik foto dan informasi media massa. Namun, bagi anak yang telah menaroh mimpi dan cita-cita mereka, tentu berita tersebut hanya sebagai angin lalu yang sekedar mengiri ruang-ruang informasi media sosial mereka.
Literasi dan pencegahan perkawinan anak dapat menjadi topik yang beriringan. Hal ini telah diupayakan untuk dilakukan, salah satunya pada saat melakukan sosialisasi Implementasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, di Desa Sidosari Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Bengkulu (2019), Kabupaten Seluma mencatat angka tertinggi perkawinan anak di rentang usia 17-18 tahun se-Provinsi Bengkulu. Data ini kemudian disampaikan dalam sosialisasi yang diberikan oleh Nurlianti Muzni, M.I.Kom Bersama Yayasan PUPA Bengkulu dan Kementerian Hukum dan HAM Wilayah Bengkulu melalui program pemberdayaan masyarakat Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
Acara tersebut kemudian memunculkan informasi bahwa angka perkawinan anak di Desa tersebut pernah masuk dalam kategori yang menghawatirkan. Selain karena latar belakang sosial, budaya, dan agama, faktor pendorong perkawinan anak juga disebabkan oleh minimnya pendampingan literasi oleh orang tua terhadap anak. Peserta yang dihadiri oleh PKK dan perangkat Desa bahkan ada yang mengakui mereka tertinggal jauh dalam hal penggunaan media sosial dibanding dengan anak-anak mereka yang sedang memasuki usia “puber”.
Perspektif komunikasi dan literasi media digital merupakan hal yang urgen untuk dimasukkan dalam kegiatan serupa, untuk mengingatkan bahwa informasi apapun akan semakin mudah dijangkau oleh anak-anak. Termasuk informasi yang mendorong mereka untuk melakukan hubungan menyimpang pada perkawinan usia anak.

0 Komentar