Pada bulan April 2012 Harian Rakyat Bengkulu mengungkap kasus perdagangan pelajar perempuan SLTP oleh pelajar SLTA. Liputan Program JEJAK PEKARO RB TV tanggal 7 Mei 2012 tentang hiburan malam juga menampilkan fakta maraknya transaksi prostitusi di Kota Bengkulu.
Untuk melihat lebih jernih persoalan perdagangan perempuan dan prostitusi ini agar kita mampu merumuskan upaya yang harusnya segera dilakukan untuk memeranginya, berikut sumbang pikir dari cara pandang perempuan.
Prostitusi atau Bisnis Layanan Seks
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Prostitusi atau Pelacuran adalah penjualan jasa seksual untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK). Artinya prostitusi atau Pelacuran adalah perihal menjual diri sebagai pelacur”, pelacur adalah “perempuan yang menjual diri atau sundal”. Dari definisi tersebut jelas tidak memunculkan faktor-faktor lain seperti mucikari, preman, pemaksaan, penganiayaan dan jaringan perdagangan perempuan.
Banyak pihak seperti Nori Andriyani ( Jakarta Uncovered, 2010) mengkritisi definisi prostitusi menjadi Bisnis Layanan Seks Perempuan (BLSP), agar titik tekannya adalah membongkar jaringan di belakang bisnis tersebut yang mendiskriminasi perempuan dan kebiasaan laki-laki yang membeli layanan seks ini.
Dari kritisi definisi tersebut, tergambar sebuah aktifitas bisnis dimana laki-laki sebagai pemilik uang melakukan tindakan pembelian atas layanan seks yang disediakan oleh pemilik modal, mucikari, preman dan pelaku perdagangan perempuan.
Bahkan Malarek (2009) dalam Andriyani (2010), mengatakan bahwa “prostitusi adalah bentuk penindasan tertua di dunia (The world’s Oldest Oppression), bukan jenis pekerjaan tertua di dunia (the world’s oldest profession) seperti yang dipahami banyak orang selama ini”.
Transaksi jual beli/industry seks
Adanya permintaan laki-laki (demand) akan layanan seks perempuan menjadi akar terjadinya transaksi atau industry seks. Para mucikari, germo, preman, pemilik modal bisnis seks hingga jaringan perdagangan perempuan selalu berupaya mencari banyak perempuan untuk ditawarkan.
Selama permintaan laki-laki ini semakin tinggi maka industry seks ini akan terus berkembang pesat karena begitu besar kekuatan pendukung , jaringan dan keuntungan yang diperoleh mereka. Indeks seks di Indonesia pada tahun 1998 saja diperkirakan menghasilkan 1,2 hingga 3,3 Milyar dollar AS per tahun atau mencapai 0,8 hingga 2,4 % dari GDP (Agnotem 1998 dalam Andriyani 2010).
Pandangan masyarakat bahwa perempuan yang melakukan layanan seks bayaran adalah perempuan yang suka rela memilih melakukannya dan dianggap sama dengan melakukan pekerjaan lainnya adalah sangat menindas dan merendahkan perempuan. Apakah ada perempuan yang dengan tegas dan terbuka mengatakan bahwa pekerjaannya adalah PELACUR? Apakah ada orang tua yang mengharapkan anaknya menjadi Perempuan pemberi layanan seks?
Kalau pun ada perempuan terutama remaja yang memasuki bisnis dengan sukarela harus dicermati apakah mereka adalah korban dari kapitalis. Para perempuan (muda) tersebut didorong para kapitalis untuk konsumtif sampai menjadi hedonis (mengagungkan dunia), sehingga dengan berbagai cara mereka terdorong untuk mengkonsumsi yang sebenarnya bukan kebutuhannya. Dan akhirnya seperti yang terjadi di Seluma, pelajar perempuan memperdagangkan pelajar perempuan lainnya.
Laki-laki Pembeli Seks :
Dalam pandangan masyarakat kita yang patriarki (anggapan bahwa laki-laki memiliki posisi yang lebih berkuasa dibanding perempuan) menyebabkan “penerimaan’ tindakan kaum laki-laki yang membeli layanan seks perempuan karena mungkin “kesepian”, terpisah dari istri dll. Laki-laki dianggap memiliki nafsu seks yang lebih kuat sehingga dianggap wajar bila sesekali menyalurkannya dengan membeli layanan seks perempuan. Padahal kebiasaan laki-laki membeli layanan seks perempuan inilah yang mempertahankan berkembangnya transaksi seksual dan perdagangan perempuan.
Untuk melihat jumlah laki-laki pembeli seks adalah dapat dilihat dari jumlah perempuan yang dilacurkan. Walaupun data tersebut masih merupakan data yang hanya mencuat ke permukaan (fenomena gunung es), artinya ada lebih banyak lagi data yang tidak muncul di permukaan.
Mengapa laki-laki banyak yang membeli layanan seks, seringkali pertanyaan itu muncul. Jawabannya : karena mereka punya UANG, “money is power” (uang adalah kekuasaan). Dengan kekuasaan mereka bisa memenuhi keinginan mereka termasuk harta, Seks dan posisi yang dominan.
Banyak laki-laki yang awalnya iseng akhirnya kecanduan membeli layanan seks selalu mencari celah pembenaran terhadap perilaku mereka. Seperti ungkapan “boleh selingkuh badan asal jangan selingkuh hati’, ‘masak tiap hari minum teh. Bosan, sesekali minum kopi, minum susu”, “ kasihan sama istri kalau harus bercapek-capek melayani suami”, “ ini kan membantu perempuan-perempuan itu (PSK) untuk mendapatkan penghasilan”. Pembenaran tersebut sangat dikatomis dan memperkuat dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Perdagangan Perempuan/ Perempuan yang dilacurkan
Bisnis layanan seks perempuan sangat terkait dengan perdagangan perempuan. Adanya bisnis ini mendorong perdagangan perempuan bahkan anak. Data IOM dalam Catahu Komnas Perempuan 2010, menyebutkan perdagangan perempuan sebanyak 3.024 orang, dimana 90 % perempuan dan 25% anak khususnya anak perempuan) : Dilacurkan, diselundupkan, penipuan, penjualan organ, penyelundupan/adopsi ilegal bayi/anak, pemerasan dengan pornografi, penjualan “keperawanan”. Sedangkan data Komnas Perempuan sendiri pada tahun 2010 mencatat 1.359 perempuan diperdagangkann untuk tujuan seksual.
Perempuan yang terjebak dalam rumah/tempat penjualan jasa seks berupa hotel, rumah bordil, panti pijat dipaksa untuk memberikan layanan seks. Perempuan pelayan seks yang terjebak dalam bisnis ini dianggap perempuan nakal, amoral, penggoda, jalang, binal dan kotor. Sehingga anggapan masyarakat terutama laki-laki adalah perempuan jalang dapat dipakai secara seksual kapan saja tanpa harus dinikahi dan dihormati.
Perempuan yang masuk dalam BSLP selalu dianggap masalah. Sehingga upaya yang dilakukan seringkali adalah menangkap mereka dan menjatuhkan sanksi. Kalaupun ada pembinaan di beberapa institusi tidak jarang hanya bersifat proyek semata. Sehingga tidak sedikit perempuan tersebut terpaksa kembali ke bisnis layanan seks.
Anggapan ini terkait hingga pengabaian hak-hak Perempuan yang dilacurkan sebagai manusia dan Warga Negara Indonesia. Negara kurang atau tidak pernah memperhatikan aspek kesehatan dan perlindungan mereka dari kekerasan yang mereka alami.
Padahal Negara wajib mencegah perdagangan perempuan dan melindungi segenap warga Negara dari segala bentuk eksploitasi dan perdagangan manusia. Karena perdagangan manusia ditinjau dari aspek hukum, sudah masuk area tindak pidana, perlakuan mereka orientasinya adalah bisnis, tanpa
memikirkan bahwa perempuan dan anak merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang perlu dilindungi dan mempunyai harga diri sebagai pemangku hak dan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam :
- UUD 1945 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 285, 287- 298, 506
- UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
- UU RI no 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Cedaw (Penghapusan Segala Bentuk diskriminasi terhadap perempuan terutama pasal 2, 6, 9,11,12,14,15,16)
- UU RI No 20/1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No 138 tentang usia minimum yang diperbolehkan bekerja.
- UU RI no 1/2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO no 182 tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
- Keppres Nomor 36 tahun 1999 tentang Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights on the Child)
Upaya membangun kesadaran
Bila kita semua menyepakati bahwa persoalan BLSP sangat terkait dengan persoalan penindasan terhadap perempuan, maka langkah-langkah yang dapat kita lakukan adalah :
- Pendidikan kritis pada perempuan dan laki-laki
- Memberikan pengetahuan dan kesadaran bahwa kebiasaan laki-laki membeli layanan seks perempuan berarti ikut mengembangkan perdagangan perempuan, perkosaan dan bentuk kekerasan lainnya.
- Mengajarkan pada anak laki-laki untuk menghargai dan menghormati perempuan, sehingga paham perdagangan perempuan adalah kejahatan. Sehingga tertanam perilaku baik tidak akan menjadi calon pembeli layanan seks.
- Kepada anak perempuan disadarkan pada penghormatan atas tubuh mereka dan ketrampilan agar tidak terpedaya rayuan iklan dan budaya konsumerisme yang dapat mendorong mereka masuk ke bisnis layanan seks.
- Untuk semua perempuan kita perlu mengubah cara berfikir yang tidak melegitimasi laki-laki dalam menggunakan pelayanan seks perempuan.
- Memantau keuangan keluarga bagi yang sudah punya pasangan.
- Advokasi kebijakan
Melihat maraknya aktifitas BLSP di Bengkulu dan dampak HIV AIDS yang mengancam, maka diperlukan upaya yang komprehensif.
Harus ada langkah-langkah strategis seperti berikut :
- Perubahan cara pandang pemerintah dalam melihat PROSTITUSI/BSLP tidak hanya pada transaksi seksual yang dilakukan oleh perempuan, melainkan ada actor-aktor yang ada dibalik transaksi tersebut seperti ; para laki-laki yang menjadi konsumen, mucikari, germo, preman, pemilik modal bisnis seks dan jaringan perdagangan perempuan.
- Pemerintah hendaknya melihat bahwa BLSP telah menyebabkan banyak perempuan yang dilacurkan. Ada kejahatan dan penindasan terhadap perempuan dalam BLSP yang harus dihapuskan segera.
- Pemerintah membuat kebijakan baik pada upaya pencegahan maupun penanganan BLSP ini. Banyak contoh yang bisa ditiru dalam mengatasi persoalan BLSP, seperti Negara Swedia pada tahun 1999 mengeluarkan Undang-Undang yang mengkriminalkan laki-laki yang membeli layanan seks perempuan. Amerika dengan Program The John’s School, program penyadaran untuk para laki-laki yang baru pertama kali tertangkap membeli layanan seks. Program ini diterapkan di Kanada, Inggris dan Korea Selatan.
- Pemerintah mendorong banyak pihak untuk membangun kelompok pendukung (support group) bagi para perempuan yang suaminya menjadi pelaku BSPL.
- Pemerintah menyediakan anggaran untuk peningkatan latihan kerja bagi masyarakat terutama perempuan.
Semoga ada langkah yang bijak dapat dilahirkan di Bumi Rafflesia ini dalam mensikapi maraknya Bisnis layanan Seksual Perempuan (BSLP) ini. Mari terlibat untuk mulai menghentikan BSLP ini untuk kehidupan yang lebih baik bagi kita semua.
Ditulis oleh: Susi Handayani, Direktur YAYASAN PUPA (Pusat Pendidikan dan Pemberdayaan Untuk Perempuan dan Anak)
0 Komentar