Yayasan PUPA (Pusat Pendidikan dan Pemberdayaan untuk Perempuan dan Anak) berdiri pada tahun 2011. Sejak tahun 2016 secara terbuka memberi akses kepada masyarakat dan media untuk mengetahui data terkait angka kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Bengkulu, terutama yang didampingi langsung oleh Yayasan PUPA dan didukung oleh pendokumentasian media cetak koran harian di Provinsi Bengkulu.

Catatan Tahunan (CATAHU) kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak Yayasan PUPA merupakan catatan kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan sepanjang Januari hingga Desember 2019, yang diterima dan ditangani langsung melalui program bantuan hukum oleh Yayasan PUPA yang menyasar pada perempuan miskin yang membutuhkan kepastian hukum mengenai status mereka. Sedangkan kasus kekerasan yang menimpa pada anak terutama kekerasan seksual, diadvokasi bersama dengan lembaga layanan yang ada selama ini baik berbasis masyarakat maupun pemerintah.

Tahun 2019 jumlah korban yang mendapatkan bantuan hukum oleh  Yayasan PUPA sebanyak 24 kasus. Jumlah ini  terus mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, yaitu di tahun 2017 sebanyak 15 kasus dan tahun 2018 menjadi 21 kasus.  Bentuk kekerasan yang dialami korban adalah penelantaran 19 kasus, kekerasan psikologis 15 kasus,  kekerasan fisik sebanyak 9 kasus, marital rape, yang dibarengi dengan pembatasan ruang gerak istri dan kekerasan psikologis dari keluarga pelaku. Data ini menunjukkan bahwa hampir setiap korban mengalami 2-3 bentuk  kekerasan dalam setiap kasus KDRT.

Dilihat dari tingkat pendidikan, masing-masing korban sangatlah beragam. Mulai dari tidak sekolah, SD, SMP, SMA, hingga Strata 1. Terbanyak adalah korban dengan tamatan SMA sebanyak 9 kasus, disusul korban yang tamat SMP sebanyak 6 kasus, tamat SD sebanyak 4 kasus, S1 sebanyak 3 kasus, dan korban yang tidak tamat sekolah sebanyak 2 kasus. Artinya, baik perempuan yang tidak sekolah hingga mengenyam pendidikan  pun mengalami kerentanan yang sama untuk menjadi korban kekerasan.  Kekerasan terhadap perempuan tidak mengenal kelas.

Di tahun 2019 perempuan yang menjadi korban kekerasan tertinggi berada pada rentang usia dewasa atau produktif yakni 25 tahun hingga 40 tahun sebanyak 12 korban. Kemudian disusul korban pada usia di atas 40 tahun, dan rentang usia 19-24 tahun.

Dilihat dari fakta pekerjaan, seluruh korban dalam catatan ini, tidak memiliki pekerjaan dan berstatus ibu rumah tangga. Fakta tersebut sejalan dengan tingginya kasus kekerasan yang terjadi di ranah domestik, yakni Kekerasan dalam Rumah Tangga. Tingginya kasus KDRT menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi di ranah personal, artinya kasus-kasus tersebut terjadi dalam keluarga. Selain itu korban dan pelaku memiliki kedekatan personal. Dalam Catatan 3 tahun terakhir, ditemukan bahwa yang paling banyak menjadi pelaku adalah suami.

Berbanding terbalik dengan korban, hampir seluruh pelaku memiliki pekerjaan, yaitu berdagang, bertani, buruh harian. Ketimpangan pekerjaan ini menyadarkan kita bahwa lapangan pekerjaan belum memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan, yang kemudian berujung pada nilai pendapatan perempuan. Hal ini membuat perempuan tidak memiliki kemandirian ekonomi sehingga amat rentan menjadi korban kekerasan.

Kekerasan yang terjadi di dalam keluarga dan dilakukan oleh anggota keluarga membuktikan bahwa masih langgengnya budaya rasa kepemilikan pribadi oleh suami (pelaku) atas istri dan anak (korban). Pelaku, yang dalam hal ini adalah suami menganggap istri dan anak berada dalam kekuasaannya penuh. Istri dan anak disamakan dengan properti seperti harta kekayaan lainnya yang dapat diperlakukan sesuai kehendak pemilik (suami;pelaku).

Hubungan personal antar korban dan pelaku didukung oleh lokasi kejadian, yang seluruhnya terjadi di rumah. Anggapan bahwa rumah adalah tempat nyaman bagi anggota keluarga, tampaknya tidak lagi relevan saat ini,  dengan munculnnya banyak kasus kekerasan justru terjadi di rumah.

Dalam peluncuran catahu tahun 2019  kami mengajak semua lembaga layanan untuk melakukan peluncuran data secara bersama. Hal ini sesuai dengan Kesepakatan Bersama antara Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA RI), Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan (dimana Yayasan PUPA sebagai salah satu anggota FPL) melakukan SINERGI DATA DAN PEMANFAATAN SISTEM PENDOKUMENTASIAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN UNTUK PEMENUHAN HAK ASASI PEREMPUAN, yang ditandatangani pada tanggal 21 Desember 2019 di Semarang.

Elaborasi data dari lembaga layanan lain menampilkan keberagaman jumlah kasus, jenis kekerasan/kasus, usia, pekerjaan, pendidikan, dan hubungan antar pelaku dan korban. Data kasus tidak kami jumlahkan keseluruhan, karena sangat berkemungkinan data yang ada di UPTD PPA juga telah dilaporkan ke UPPA Polres Kota Bengkulu. Atau data yang masuk ke LBH Bintang Keadilan juga menjadi data rujukan dari UPTD PPA kota Bengkulu.

Khusus data dari Pengadilan Agama Kota Bengkulu, sampai waktu yang ditentukan belum kami dapatkan, maka kami mengakses data perkara melalui website pengadilan agama Kota Bengkulu (https://www.pa-bengkulukota.go.id).  Kami menjumlahkan dari seluruh perkara yang masuk perbulannya selama tahun 2019, yaitu sebanyak 971 perkara gugatan perceraian.  Namun kami belum menemukan data terpilah berdasarkan faktor penyebab perceraian seperti: 1) perselisihan dan pertengkaran terus menerus, 2) meninggalkan salah satu pihak, 3) ekonomi. 4) dihukum/penjara, 5) KDRT, 6) Poligami, 7) Zina, 8) murtad, 9) mabuk, 10) madat.

Perbedaan jumlah pada masing-masing lembaga membuktikan bahwa korban dapat mengadu atau melaporkan kasusnya ke lembaga layanan mana yang dapat dijangkau.  Atau berdasarkan kebutuhan, seperti informasi,   layanan konsultasi, layanan konseling psikologis, layanan medis, psikososial atau bantuan/layanan hukum baik pidana ataupun perdata.

Dilihat dari table 3 tergambar lebih banyak korban yang langsung melapor ke pihak ke polisian dalam hal ini UPPA Polres untuk menyelesaikan kasusnya di  jalur hukum. Padahal kita ketahui bersama, bahwa korban tak jarang membutuhkan beberapa jenis layanan sekaligus dalam proses penyelesaian kasus dan pemulihan dirinya.

Layanan rujukan menjadi sangat penting dikembangkan untuk memastikan aspek pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan dan ketidakberulangan. Artinya, kalau data di Kota Bengkulu ada 134 kasus di UPPA Polres Kota Bengkulu, maka paling tidak korban juga mendapatkan layanan di lembaga psikososial lainnya.

Namun dari data yang ada kondisi ini  dapat disebabkan karena keterbatasan sumber daya dan dana  layanan pada lembaga layanan berbasis masyarakat menyebabkan banyak korban yang tidak mampu dilayani. Oleh karena layanan yang dikembangkan oleh pemerintah menjadi tumpuan bagi korban mendapatkan layanan yang komprehensif.

Untuk usia korban, 44 kasus atau 33%  yang ditangani UPPA Polres berusia anak. Dinas Sosial, sebanyak 49 kasus berusia anak karena fokus program adalah Pendampingan Anak. CP WCC menanganai 14 kasus atau 27% berstatus pelajar. Anak yang menjadi korban sangat rentan mengalami kekerasan berlapis, baik dari lingkungan bermain, juga dari lingkungan sekolah. Kecendurangannya berdampak pada putus sekolah. Baik karena malu maupun di keluarkan dari sekolah.

Sejak tahun 2017, Yayasan PUPA bersama dinas Pendidikan Kota Bengkulu dan DPPPAPPKB Kota Bengkulu terus mendorong Kelompok Kerja (Pokja) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di lingkungan satuan pendidikan untuk menerima pengaduan dan memberikan layanan dasar pada kebutuhan anak (didengarkan, digali peristiwa dan kebutuhannya, didokumentasikan dan dicarikan solusi).

Anak yang menjadi korban kekerasan di sekolah dapat mengadukan peristiwa kekerasan yang dialaminya pada pokja, dan meminta sekolah untuk mendampingi merujuk  ke lembaga layanan yang terintegrasi dengan sekolah bila mengalami tindakkan kekerasan yang berakibat pada fisik, psikis, seksual korban. Hal ini sesuai dengan mandate Permendikbud No 82/2015 tentang tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Pendidikan. Saat ini telah terbentuk 123 Pokja Pencegahan dan Penanganan KTPA mulai dari SD, SLTP, SLTA di Kota Bengkulu.  Walau hingga saat ini, masih belum menjadi program wajib sekolah, dan Dinas Pendidikan Kota Bengkulu.

Selain itu, dari keseluruhan data yang masuk, terdapat beragam tempat yang menjadi tempat kejadian, yaitu di rumah korban, rumah pelaku, sekolah, hotel, kebun/ hutan, angkutan umum, pasar, dan tempat lainnya. Hal ini membuktikan bahwa, selain rumah, ternyata ruang-ruang publik pun menjadi tempat yang rentan bagi anak dan perempuan. Artinya, baik di ranah domestik maupun di ranah publik, tidak lagi aman bagi perempuan dan anak.

Dari elaborasi data di atas, selain suami, hampir seluruh pelaku memilki relasi personal dengan korban, dan merupakan orang yang sangat dikenal korban yaitu ayah kandung, ayah tiri, teman, pacar , guru, dan paman. Melalui data ini, cukup menjelaskan bahwa kekerasan bisa dilakukan oleh siapapun. baik oleh orang-orang yang sangat dekat dan kenal, maupun orang yang tidak dikenal.

Melalui data tersebut, perlu adanya perubahan perspektif masyarakat tentang kekerasan. Komentar-komentar seperti “tidak mungkin”, “masa sih”, “paling dianya itu yang mau”, “Pakain yang menggoda”, “Kelayapan di  jam malam”, “pasti suka sama suka” dan komentar-komentar lain yang justru memojokkan korban, dan membuat korban menjadi korban berlapis atas tuduhan-tuduhan yang kita lontarkan. Hal ini, selain menyakiti korban, juga membuktikan bahwa adanya konsepsi yang salah tentang kekerasan, yang justru kita langgengkan.

Hari Perempuan Internasional adalah refleksi bagi seluruh elemen masyarakat, dalam pemenuhan hak perempuan, untuk menuju Indonesia menjadi negara yang aman dan layak bagi seluruh warganya.  Tema peringatan Hari Perempuan Internasional 2020 “An equal world is an enabled world” (dunia yang setara adalah dunia yang diaktifkan) menjadi energi baru untuk kita merayakan prestasi perempuan, meningkatkan kesadaran terhadap bias, dan mengambil tindakan  menuju negara yang setara.

Untuk itu, dalam menyambut Hari Perempuan Internasional, kami mengajak seluruh masyarakat untuk ikut mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah Provinsi, maupun kota Bengkulu agar:

1. Segera merumuskan sinergi data Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak  antar lembaga layanan di Kota Bengkulu.

2. Merumuskan layanan rujukan terpadu untuk pemenuhan layanan dasar pada  perempuan dan anak korban kekerasan.

3. Mengoptimalkan UPTD PPA Kota Bengkulu sebagai lembaga layanan untuk perempuan dan anak korban kekerasan.

4. Mendorong sekolah memiliki prosedur dan mekanisme untuk pencegahan dan penanganan kekekrasan terhadap perempuan dan anak di sekolah.

5. Mendorong Implementasi Peraturan Walikota No.06 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Dan Tatacara Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan  Perlindungan Anak.

6. Mendorong implementasi Peraturan Walikota No.08 tahun 2019 tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

7. Mendorong Implementasi peraturan Walikota No. 64 tahun 2019 tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak.

8. Mendukung Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang hingga saat ini masih tertunda.

9. Seluruh masyarakat terlibat aktif dalam mengkampanyekan Stop Kekerasan terhadap Perempuan dan anak.

10. Mengajak seluruh media massa di Kota Bengkulu untuk terus memproduksi konten berita dan informasi yang berpihak dan melindungi korban kekerasan.

Selamat menyambut Hari Perempuan Internasional 2020 untuk dunia yang adil bagi seluruh manusia.

Bengkulu, 24 Februari 2020

# #IWD2020   #EachforEqual


Narahubung:

Yayasan PUPA- Grasia Renata Lingga 089633097315

Dinas Sosial Kota Bengkulu- Tati Yogawanti 082281229284

UPTD PPPA Kota Bengkulu- Ermawati 085369085551

UPPA Polres Kota Bengkulu- Arnita 082182661556

Cahaya Perempuan WCC – Tini Rahayu 085221091654

LBH Bintang Keadilan Retno- 085839039969


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *