Sepanjang tahun 2016, Sebanyak 275 Kasus kekerasan terhadap Perempuan di Provinsi Bengkulu dikumpulkan Yayasan PUPA dari Media Koran Rakyat Bengkulu dan 26 kasus yang langsung didampingi Yayasa PUPA. Kasus KDRT menjadi mayoritas pengaduan yang masuk ke PUPA yakni sebesar 86% dengan bentuk layanan bantuan hukum
Bentuk kekerasan seksual sebanyak 179 kasus atau 65%, sedangkan bentuk kekerasan fisik berupa penganiayaan sebanyak 13 % dan penelantaran 2%. Bentuk kekerasan psikis tidak terdata secara spesifik menjadi kasus tunggal atau sendiri, melainkan melapisi kekerasan lain.
Perkosaan paling banyak dialami oleh perempuan di Propinsi Bengkulu, yakni 155 korban, dengan persentase 86%. Sedangkan pelecehan seksual 14%. KDRT 16%, KDP 4,7%.
Dimana 95% pelaku dikenal korban dan memiliki relasi personal seperti suami, pacar atau keluarga kandung lainnya (ayah, paman dan kakak). Hal ini menguatkan selama ini perempuan sebagai asset/milik. Hal ini juga penanda bahwa rumah atau lingkungan terdekat sudah tidak aman lagi pada perempuan. Maka sudah seharusnya mekanisme perlindungan berbasis komunitas atau masyarakat harus segera dibangun, agar komunitas menjadi control dan tempat pertama bagi korban untuk memperoleh perlindungan.
64 % korban kekerasan berusia di bawah usia 18 Tahun. Usia terbanyak yang menjadi korban adalah direntang 13-18 tahun, yakni sebanyak 44%. Artinya pada usia sekolah. Putus sekolah adalah dampak yang seringkali dialami korban, baik karena malu maupun di keluarkan dari sekolah. Untuk itu menjadi prioritas membangun mekanisme perlindungan berbasis sekolah. Anak yang menjadi korban kekerasan sekolah dapat mengadukan peristiwa kekerasan yang dialaminya, dan meminta sekolah untuk mendampingi merujuk ke lembaga layanan lainnya.
Dari sisi pelaku: 36% pelaku di bawah usia 18 Tahun, 64% berusia dewasa. Angka terbanyak berada di rentang usia 25-40 tahun dengan persentase 35,1 %. Pelaku berusia anak terutama di bawah 14 tahun tidak dapat diproses secara hukum. Hal ini seringkali memberikan rasa ketidakadilan bagi korban.
“NB, korban perkosaan mengalami trauma berat dengan dilepasnya 4 orang pelaku yang telah menyekap dan melakukan penyerangan seksual kepadanya,
hanya karena pelaku berusia di bawah 14 tahun. “
Kasus NB memberikan pembelajaran berarti bagi PUPA dan KP2K2S. Koordinasi yang tidak berjalan baik, menyebabkan korban tidak dapat memperoleh hak keadilan.
Sebagai lembaga yang fokus pada upaya preventif, namun PUPA tidak dapat menutup diri bila korban sudah datang dan meminta dukungan pendampingan. Namun karena terbatas sumber daya, maka bantuan yang diberikan juga masih sangat terbatas. Untuk korban KDRT, 82% mendapatkan pendampingan hukum di Pengadilan Agama secara gratis, bagi orang miskin terutama untuk mengurus perceraian. Sedangkan kasus perkosaan PUPA melakukan advokasi bersama untuk penyelesaian kasus dengan persentasenya masing-masing hanya 9% .
Usia korban yang didamping 65% berusia 25-35 Tahun, dengan tingkat pendidikan 63% adalah SLTA. Usia yang produktif dan pendidikan hanya setingkat SLTA menjadi tantangan tersendiri bagi korban untuk memulai hidup sebagai orang tua tunggal. Maka pengorganisasian para survivor adalah pekerjaan rumah yang juga harus ditemukan solusi terbaiknya, agar mereka dapat menjadi manusia baru yang terbebas dari kekerasan dan mandiri.
Faktor penyebab perceraian sebenarnya tidak tunggal, namun 63% adalah soal ekonomi (tidak diberi nafkah), 42% perlakuan kasar suami, dll. Lama perkawinan 32% di bawah 5 tahun dan di atas sepuluh tahun. Artinya lama perkawinan bukan ukuran untuk bertahan dalam perkawinan.
Setelah 113 tahun Kartini Meninggal dan mewariskan semua catatannya tentang kekerasan dan ketidakadilan yang dialami perempuan pada zamannya, kini kejadian semacam itu masih saja terjadi dan dialami oleh perempuan. Lingkungan terdekat menjadi pihak yang paling dominan menjadi pelaku kekerasan pada perempuan, lalu mau berapa lama lagikah perempuan harus bertahan dalam lingkaran kekerasan? Mau berapa lama lagikah perempuan mempertanyakan keadilan?
Persoalan kekerasan yang semakin komplek dan terus menerus menteror perempuan dari masa ke masa, menuntut segala unsur masyarakat dan pemerintah bekerja sama dalam penanganannya. Yayasan PUPA mencoba untuk mendorong Multipihak, bagaimana media massa dapat terlibat dalam mendorong persepsi dan perspektif masyarakat yang anti kekerasan terhadap perempuan. Pemerintah yang benar-benar mendesain dan melaksanakan pembangunan yang responsive pada kepentingan perempuan secara konfrehensif dan juga mendorong perubahan paradigma masyarakat mengenai penghormatan atas diri dan tubuh perempuan secara utuh. Bersama-sama mari mendorong lahirnya dunia yang adil bagi perempuan:
“Dunia tanpa kekerasan”
Bengkulu, 21 April 2017
1 Komentar
Pengantar Yayasan PUPA Menuju Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2017 | Yayasan Pupa · 7 September 2017 pada 15:10
[…] Indonesia, kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Provinsi Bengkulu. Berdasarkan catatan pendokumentasian yang dilakukan oleh Yayasan PUPA, menunjukkan kekerasan seksual tetap mendominasi yaitu berada pada […]