Oleh : Nurlianti Muzni, M. I.Kom /Staf Advokasi Yayasan PUPA

Tren usia kawin anak di Indonesia masih menjadi perhatian besar bagi sebagian kelompok.  Selain memberikan dampak pada anak itu sendiri, perkawinan anak juga dapat memberikan beban ganda pada keluarganya. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Badan Pusat Statistik Nasional bekerjasama dengan Unicef (2016), merilis penelitian mereka yang menyatakan bahwa perkawinan usia anak terjadi pada semua wilayah di Indonesia. Tingginya angka perkawinan anak menunjukkan bahwa praktik perkawinan di usia anak ini mengakar dalam norma-norma sosial dan budaya secara kuat. Misalnya keluarga yang mendukung perkawinan diusia anak, dengan memberikan izin bahkan mendukung dengan cara mengurus administrasi untuk melegalkan pernikahan tersebut.

Beberapa contoh kasus yang ditemui, usia kawin anak merupakan posisi rentan bagi anak (khususnya perempuan) untuk mendapatkan kekerasan, baik secara psikis, ekonomi, fisik, dan seksual. Selain itu, tingginya angka perkawinan anak, sangat dikhawatirkan sebagai pemicu semakin tingginya angka Kematian Ibu yang disebabkan oleh faktor ketidaksiapan reproduksi bagi si-Ibu.

Dalam pandangan kesehatan, Anak perempuan yang kawin pada usia muda berpotensi mengalami kehamilan berisiko tinggi. Anak perempuan yang kawin di usia muda memiliki  ancaman kesehatan mental serta seringkali mengalami stress ketika meninggalkan keluarganya dan harus mulai bertanggung jawab atas keluarganya sendiri. Bahkan, dampak buruk yang harus mereka terima pada perkawinan anak tersebut anak rentan mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Penelitian dari Susilo & Azza (2014) menuliskan bahwa Anak perempuan berusia 10-14 memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, selama kehamilan atau melahirkan, di bandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun sementara itu anak perempuan berusia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar. Tingginya resiko ini, harusnya menjadi pertimbangan bagi anak maupun keluarga ketika akan memutuskan untuk menikah di usia anak.

Hubungan interaksi dalam rumah tangga setelah menikah muda kebanyakan dengan pasangan kurang baik karena kesibukan dan sifat yang masih kekanak-kanakan, sehingga tidak bisa menjalankan peran masing-masing (Refqi, a.l 2016). Hasil penelitian Djamilah&Kartikawati (2014) menyebutkan bahwa Dampak psikologis juga ditemukan di mana pasangan secara mental belum siap menghadapi perubahan peran dan menghadapi masalah rumah tangga sehingga seringkali menimbulkan penyesalan akan kehilangan masa sekolah dan remaja. Ketidaksiapan antara pasangan tersebut rentan menimbulkan kekerasan yang dialami oleh perempuan maupun laki-laki dalam rumah tangga. Selain itu dapat pula menimbulkan trauma yang berkepanjangan jika terjadi perpisahan atau berakhirnya masa pernikahan mereka.

Sebenarnya Indonesia memiliki legitimasi hukum yang berusaha melindungi anak dari praktek pernikahan di usia anak. Undang-undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan anak membatasi usia pernikahan minimum terhadap perempuan ataupun laki-laki yang akan menikah. Berdasarkan pasal 7 poin 1 menyebutkan bahwa Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, mengatakan (melalui Kompas.com/  02/02/2018) bahwa dirinya tengah mendorong revisi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, terutama pasal yang mengatur batas usia perkawinan dengan tujuan menghapus praktik perkawinan usia anak.

Propinsi Bengkulu merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki angka perkawinan anak yang cukup tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu, mengungkapkan data yang cukup mengejutkan mengenai tingginya angka perkawinan anak di Provinsi Bengkulu. ditemukan sebesar 16,17% perempuan di Provinsi Bengkulu yang menikah dibawah usia 16 tahun dan 23,04% yang menikah diusia 17-18 tahun (susenas, 2017). Perempuan dengan usia perkawinan dibawah 16 tahun dan usia 17-18 tahun mengalami peningkatan kurun waktu 2015-2017.

Batas minimum angka kawin anak yang sudah ditetap sejak 1974 tersebut tidak sejalan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Dalam beberapa diskusi yang dilakukan oleh kelompok perempuan di Bengkulu, banyak terjadi kawin anak yang kurang dari batas minimum sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan, secara institusional kelembagaan negara-pun kadang kala memberikan kesempatan terjadinya perkawinan anak.

Hari Remaja Internasional tepat pada tanggal 12 Agustus serta Hari Anak Nasional 23 Juli 2018 yang lalu, mendapat hadiah berupa ditandatanganinya Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pencegahan Perkawinan Anak. Tepat pada tanggal 9 Agustus 2018, salinan Pergub tersebut telah diterima oleh Dinas PPPAPPKB Propinsi Bengkulu, yang selanjutnya akan disosialisasikan kepada seluruh masyarakat Bengkulu. Peraturan Gubernur ini akan menjadi hadiah untuk seluruh anak dan remaja Bengkulu, untuk mengurangi angka pernikahan anak. Awal yang baik bagi seluruh anak dan remaja Propinsi Bengkulu, untuk lebih siap berfikir kreatif serta mempersiapkan diri bersaing dalam lingkup global seperti saat ini. Sudah saatnya pula, masyarakat (bersama-sama) memikirkan pendidikan yang baik bagi anak dan remaja untuk tidak memberikan ruang kepada mereka menikah diusia anak.

Dengan adanya Pergub Pencegahan Perkawinan Anak di Propinsi Bengkulu, semoga menjadi bentuk dukungan Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual yang saat ini  sudah menjadi prioritas program legislasi di DPR RI. Karena sesungguh pemaksaan perkawinan (terutama pada anak) adalah salah satu bentuk kekerasan seksual.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *